Hosting Unlimited Indonesia

JABAT TANGAN ANTARA PRIA DAN WANITA BUKAN MAHRAM DALAM PANDANGAN 4 MADZHAB


Kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi tentu menyita banyak perhatian warga Indonesia. Banyak sisi yang menjadi sorotan, antara lain banyaknya rombongan yang beliau bawa, kemewahan pesawat yang ditumpangi rombongan beliau, dan yang cukup membuat perbincangan adalah momentum jabat tangan rombongan Raja Salman dengan pejabat Indonesia, yang termasuk diantaranya ada para wanita.
Hal itu tentu  membuat tanda tanya besar, bukankah di Arab Saudi sendiri, interaksi pria dan wanita benar-benar dijaga? Jangankan jabat tangan, melihat wanita dengan wajah yang tidak tertutup cadar merupakan suatu hal yang janggal di Arab Saudi. Sebenarnya bagaimanakah Islam mendudukkan masalah bersentuhan antara pria dan wanita yang bukan mahram?
Terlepas dari perbedaan pengambilan dalil, berikut ini adalah pendapat para ulama 4 (empat) madzhab seputar hukum berjabatan tangan atau salaman antara laki-laki dan wanita bukan mahram (muhrim).

1. Madzhab Hanafi
Ibnu Najim dalam kitab Al-Bahru Ar-Raiq menuliskan sebagai berikut:
ولا يجوز له أن يمس وجهها ولا كفها وإن أمن الشهوة لوجود المحرم ولانعدام الضرورة
Laki-laki tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan wanita walaupun aman dari syahwat karena itu diharamkan dan tidak adanya hal yang mendesak (darurat)

2. Madzhab Maliki
Muhammad bin Ahmad Ulaisy menuliskan dalam kitab Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil sebagai berikut:
ولا يجوز للأجنبي لمس وجه الأجنبية ولا كفيها ، فلا يجوز لهما وضع كفه على كفها بلا حائل
Tidak boleh bagi ajnabi menyentuh wajah wanita ajnabiyah ataupun kedua telapak tanganya. Tidak boleh meletakkan telapak tangannya di telapak telapak tangan wanita tanpa pelapis.

3. Madzhab Syafi'i
An-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa haram hukumnya berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.
Imam Waliuddin Al-Iraqi menuliskan di dalam Tarhut Tatsrib sebagai berikut:
أنه عليه الصلاة والسلام لم تمس يده قط يد امرأة غير زوجاته وما ملكت يمينه لا في مبايعة  ولا في غيرها وإذا لم يفعل هو ذلك مع عصمته وانتفاء الريبة في حقه : فغيره أولى بذلك
Nabi tidak pernah menyentuh perempuan yang selain istri-istrinya baik saat membaiat atau situasi lain. Apabila Nabi yang sudah terpelihara dari berbagai macam keraguan tidak melakukannya, maka yang lain semestinya lebih tidak boleh lagi.
Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul-Muin mengatakan sebagai berikut:
وَحَيْثُ حُرِّمَ نَظْرُهُ حُرِّمَ مَسُّهُ بِلَا حَائِلٍ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِيْ اللَّذَّةِ.
Sekiranya haram melihatnya maka haram pula menyentuhnya tanpa pemisah, karena memegang itu lebih menimbulkan ladzah.

4. Madzhab Hanbali
Ibnu Muflih menuliskan di dalam kitabnya Al-Adab Asy-Syar'iyyah sebagai berikut:
وسئل أبو عبد الله – أي الإمام أحمد – عن الرجل يصافح المرأة قال : لا وشدد فيه جداً ، قلت : فيصافحها بثوبه ؟ قال : لا ...
Imam Ahmad ditanya tentang laki-laki yang bersalaman dengan perempuan. Beliau menjawab,”Sangat-sangat tidak boleh”. Ditanya lagi,”Bagaimana kalau ada lapisan baju?”. Beliau menjawab lagi,”Tetap tidak boleh”.

E. Pendapat Para Ulama Kontemporer
Di masa sekarang ini nampak pendapat ulama kontemporer tidak terlalu jauh berbeda pandangan dengan para pendahulunya. Mereka umumnya juga mengharamkan bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram. Namun satu dua tokoh kadang kita temukan punya pandangan yang agak berbeda.
Dr. Yusuf Qaradhawi
Dr. Yusuf Qaradawi mempunyai pandangan yang agak berbeda dalam soal jabat tangan dengan perempuan bukan mahram. Menurut Qarhdhawi, hukum bersalaman dengan perempuan non-mahram adalah makruh alias tidak haram dengan syarat:
a. Tidak Ada Syahwat
Berarti kalau bersalaman itu menimbulkan syahwat maka hukumnya tetap haram.
b. Aman Dari Fitnah
Apabila dikuatirkan terjadi fitnah dari salah satu pihak atau bangkitnya syahwat, maka hukumnya haram. Bahkan, bersalaman dengan perempuan mahram pun, kalau membangkitkan syahwat, hukumnya haram. Seperti bersalaman dengan ibu mertua, bibi, istri ayah, dan lain-lain yang termasuk dari perempuan mahram.
c. Bersalaman Dengan Singkat
Yusuf Qardhawi membahas aspek hukum secara mendalam sebelum sampai pada kesimpulan di atas, termasuk dalam menganalisa dasar-dasar dari Quran dan hadits yang sebagian dikutip di catatan kaki di bawah.
Wallahu a'lam bishshawab


(Sumber: Rumah Fiqih Indonesia)
Share on Google Plus

About Unknown

0 comments:

Post a Comment