Siyono,
terduga teroris yang ditangkap di Klaten, Jawa Tengah, meninggal dunia pada Maret
2016, saat berada dalam pengawasan Densus 88. Ia diduga terlibat adu fisik dengan dua petugas Densus 88 yang menanganinya,
yaitu AKBP T dan Ipda H. Peristiwa itu terjadi di dalam mobil.
Polisi
menganggap meninggalnya Siyono akibat kelalaian, bukan sengaja menghilangkan
nyawa. Namun,
keluarga Siyono bersama Komnas HAM dan sejumlah LSM menganggap ada kejanggalan
dalam kematian Siyono dan memiliki risiko hukum.
Kini,
setahun setelah kepergian Siyono, janji Polri untuk menuntaskan kasus tersebut
ditagih. Tahun
2016 lalu, keluarga melaporkan dua anggota Densus 88 itu ke Polres Klaten.
Koordinator
Tim Pembela Kemanusiaan yang juga pengacara keluarga Siyono, Trisno Raharjo
mengatakan, hingga saat ini belum ada tindaklanjut dari laporan tersebut.
Padahal,
Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti (saat ini Purnawirawan), memastikan
laporan itu akan diproses.
"Kami
mendesak pihak kepolisian untuk segera menuntaskan penyelidikan dan penyidikan
perkara kematian Siyono dan membawa perkara tersebut ke pengadilan melalui
kejaksaan sesegara mungkin," ujar Trisno, melalui keterangan tertulis,
Rabu (8/3/2017).
Trisno
mengatakan, pihaknya menuntut penanganan penegakan hukum yang baik dan
transparan dengan mengedepankan persamaan di hadapan hukum.
Pada
2016 lalu, sejumlah aktivis yang mengatasnamakan Koalisi untuk Keadilan juga
mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melaporkan dugaan gratifikasi
dari Densus 88.
Saat
itu, polisi memberikan santunan kepada keluarga Siyono sebesar Rp 100 juta. Namun,
keluarga tidak mau menerima uang kerahiman itu dan menyerahkannya ke PP Muhammadiyah
untuk disimpan.
"Kami
juga mendesak KPK untuk independen dan profesional dalam menangani dugaan
gratifikasi Rp 100 juta kepada Densus 88," kata Trisno.
Dengan
tak adanya respons atas laporan keluarga Siyono, maka koalisi berniat
melaporkan Densus 88 ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Tak
hanya terkait kematian Siyono, tetapi juga kematian terduga teroris yang tewas
dalam kasus lainnya. Belajar
dari kasus Siyono, Trisno meminta Densus 88 untuk menghentikan tindakan
represif yang menghilangkan nyawa terduga teroris.
"Menuntut
kepada Polri untuk mengedepankan asas praduga tidak bersalah dalam upaya
tindakan paksa terduga teroris. Dan terduga teroris harus dibawa ke sidang
terbuka untuk memenuhi asas peradilan yang jujur dan adil," kata Trisno.
Pemerintah
didesak membentuk lembaga independen untuk memeriksa dan mengaudit kinerja Densus
88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain
itu, pemerintah juga didorong untuk merevisi Undang-undang tentang
Pemberantasan Terorisme secara menyeluruh dengan mengedepankan pendekatan
sistem peradilan pidana yang menghormati hak asasi manusia.
Laporan
keluarga Siyono dilakukan karena putusan majelis etik Polri dianggap tak cukup
untuk menegakkan keadilan dalam kasus itu. Dalam
putusan tersebut, AKBP T dan Ipda H dianggap terbukti melanggar prosedur dan
dianggap lalai mengawal Siyono. Mereka
dikenakan sanksi berupa kewajiban meminta maaf dan memutasikan keduanya ke
satuan tugas lain.
Hal
itu disebabkan kurangnya pengawalan saat membawa Siyono. Saat
di dalam mobil, Siyono hanya didampingi dua anggota, satu sopir, dan satu orang
duduk di sampingnya. Kelalaian
kedua, Siyono tidak diborgol. Keadaan
ini membuat Siyono dengan leluasa melawan petugas. Namun,
Polri tidak melihat ada unsur pidana dengan niat sengaja membunuh Siyono
sehingga tak perlu ada tindakan hukum.
0 comments:
Post a Comment